INDONEWS24.– Jika kita mendengar kata BRANI,maka yang langsung terlintas di pikiran kita adalah sosok Politisi Nasional yang hari ini menjabat sebagai Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Sekretaris Jendral (Sekjend) DPP Partai Hanura ini tidak pernah terlupakan dalam catatan sejarah pergerakan mahasiswa Sulut.Bahkan banyak Mahasiswa yang masih aktif di parlemen jalanan menjadikan Brani sebagai patron gerakan.
Namun dibalik nama besar sang singa podium ini,siapa yang menyangka bahwa perjalanannya menapaki jejak demi jejak bisa semulus seperti para politisi nasional lainnya.Jika kebanyakan tokoh politik memiliki reputasi baik di sekolah,maka lain lagi bagi lelaki 57 tahun ini.Benny Rhamdani malah dua kali tidak naik kelas di bangku SMA.
Hal ini ia ungkapkan saat pertemuan di Cafe Korot yang terletak di Kelurahan Kotobangon .Dalam pertemuan yang mengangkat tema ” Menelisik Kehidupan Pribadi, Keluarga dan Perjalanan Politik” dirinya menceritakan kisah perjalanannya dari tidak naik kelas hingga dibuang oleh orang tua.
Brani tanpa rasa canggung menceritakan kisahnya saat dua kali tidak naik kelas di bangku SMA.
“Saya dua kali tidak naik kelas,karena saat itu hoby saya adalah tauran.Kala itu Hoby saya membawa samurai untuk dijadikan senjata saat berperang,makanya saking nakalnya Kepsek pun mengeluarkan saya dari Sekolah”,terang Brani.
Bahkan Lanjut Brani,saking kesalnya dia karena dikeluarkan dari sekolah,dia sempat ada upaya menghajar kepsek dengan samurai.
“Peristiwa itu sempat dilaporkan juga oleh pihak sekolah,tapi karena saat itu ayah saya seorang TNI maka laporan pun tidak ditindak lanjuti”,ucap Brani,Sabtu (7/9/2024).
Dari kejadian itulah sehingga terjadi peristiwa yang Brani katakan PEMBUANGAN.Ini adalah kisah pilu yang selalu ia ingat hingga saat sekarang.Brani pun menceritakan perjalanannya saat dibawa ibunya dari Bandung menuju Sulawesi Utara (Sulut).
“Perjalanan ke Sulut ini saya namakan sebagai pembuangan,dimulai dari naik kapal laut kambuna dari pelabuhan tanjung priuk Jakarta hingga sampai ke Pelabuhan Bitung”,tegas Brani.
Kisah pembungan inilah,Brani sebutkan sebagai episode pertamanya di Sulut dimulai.Di manado,Ia dan ibunya tinggal di rumah keluarga yang terletak di Kelurahan Sario .Setelah itu mereka berangkat menuju Lirung Talaud.Satu bulan di Talaud,ibunya pun pamit dengan alasan mau ke manado.
“Satu bulan kami berada di talaud,setelah itu ibu saya pamit ,katanya mau ke manado.Tapi ternyata ibu malah pulang ke Bandung”,tuturnya.
Ini adalah kenyataan pahit dan konsekuensi dari semua dialektika dan dinamika kehidupan Brani hadapi saat itu,mau tidak mau sudah harus dihadapi dan dijalani.
“Dua tahun berselang akhirnya Tahun 89 saya bisa menyelesaikan Sekolah di SMA Lirung Talaud,dari situ saya mendaftar di universitas samratulagi (Unsrat) jurusan Ilmu Sosial dan Pemerintahan”,ungkapnya.
Diterima dikampus Unsrat,menjadi babak baru bagi Brani menapaki dunia aktivis.Dari sinilah dia Mengawali karir sebagai aktivis mahasiswa. Mantan senator asal Sulut ini masuk Organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) hingga pernah menjadi Wakil Sekretaris Cabang DPC GMNI Cabang Manado (1993-1994), Ketua Cabang PMII Cabang Manado selama 2 periode (1994-1997 dan 1997-1999). Selain itu, Benny Rhamdani pernah menjadi Direktur Eksekutif Komite Perjuangan Pembaruan Agraria (KPPA) Sulawesi Utara (2003-sekarang), serta menjadi PW. Gerakan Pemuda Ansor, Sulawesi Utara selama 2 periode (2004-2009 dan 2009-2014), dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (2015-2020).
“Banyak peristiwa yang kami hadapi saat masih aktif di arena juang,terlebih saat itu kekuasaan masih dikendalikan oleh Soeharto.Pelbagai intimadasi dan penculikan sering terjadi,tapi alhmadulillah dengan niat yang tulus dan semangat yang membara,di Tahun 98 kediktatoran Soeharto akhirnya tumbang juga”.Tutupnya//prd